MENU

Cerpen - Aku Putri Koruptor



            Malam belum terlalu sempurna, suasana riuh masih terdengar, lalu lalang kendaraan di depan rumah megahku belum terhenti. Di ruang keluarga berukuran 9x20 seorang wanita paruh baya dengan muka lusuh duduk menekuk lutut. Dia adalah Mamaku, yang melahirkanku, yang merawatku, dan yang membesarkanku dengan kasih sayang. Namun, Mama tidak sendiri, selalu ada Papa yang menemaninya. Tapi itu dulu, bukan sekarang. Kini Papa hidup dibalik jeruji, sendiri mendekam dibalik penjara tanpa aku dan Mama. Kebahagiaan keluargaku yang terbangun selama 19 tahun tiba-tiba musnah. Tak ada lagi pelukan hangat Mama dan Papa, candaannya, senyumannya, dan belaiannya. Mama selalu melamun dengan sesekali menangis. Beliau semakin kurus tanpa senyum di wajahnya. Sedangkan aku, berusaha kuat menghadapi semuanya. Cacian dari saudara-saudara, tetangga, dan teman tak pernah absen dari telingaku. Awalnya aku tidak mau keluar rumah pasca penangkapan Papa, tapi aku sadari bahwa aku harus tetap kuliah karena aku membutuhkannya. Aku berusaha tuli atas semua omongan miring dari orang lain.
            Aku tidak tahu apa yang menyebabkan Papa berani menjadi “maling besar”. Padahal sejak kecil aku dididik untuk berlaku dan berkata jujur. Pernah suatu kali aku berbohong karena telat pulang, Papa langsung memarahiku meski aku putri tunggalnya yang sangat dimanja. Saat itu Papa berkata,
“Siapa yang mengajari kamu berbohong? Pergi belanja, bilangnya mengerjakan tugas. Kalau kamu berkata jujur sama Papa, kamu tidak akan Papa marahi. bla bla bla”.
Aku semakin mengidolakan Papa saat itu, bagiku Papa adalah sosok seorang ayah yang sempurna. Banyak orang yang mengenal Papa, karena Papa termasuk orang hebat. Aku jelas bangga menjadi putrinya. Tapi kini, semua orang seperti merasa jijik dengan keluargaku. Tak sedikit yang memanggilku dengan sebutan “putri tikus putih”. Memang secara fisik aku tidak pernah terluka, tapi secara batin, aku dan Mama amat tersiksa. Padahal aku dan Mama tidak bersalah dalam hal ini. Tapi kesalahan Papa harus ditanggung aku dan Mama juga.
            Kehidupanku kini berantakan, tak ada yang mau berteman denganku. Tak ada lagi pembantu di rumahku. Semuanya karena ulah Papa, sejak kecil aku dididik untuk tidak pernah berbohong. Pada kenyataannya, Papa membohongi banyak orang. Papa yang aku banggakan karena kedermawanannya, ternyata tega merampas hak orang lain. Menipu banyak orang. Dasinya yang bijak ternyata dijadikan topeng. Papa sangat pantas menjadi seorang aktor. Aku sebagai orang terdekatnya tidak pernah curiga bahwa Papa adalah seseorang pemain sandiwara handal. Yang mampu mengelabui aku dengan kepalsuannya. Aku tak menyesal terlahir sebagai putrinya, karena ini dapat aku jadikan pelajaran. Bahwa berbohong itu membawa petaka, hal yang tidak baik akan menghasilkan yang tidak baik pula. Sepandai-pandainya menyimpan kejahatan, pasti akan tercium juga, kalau tidak sekarang pasti nanti. Aku juga dapat mengerti bahwa kehormatan itu letaknya jauh diatas rupiah. Tapi Papa rela kehilangan kehormatannya hanya demi rupiah. Saat kehormatan tak dimiliki lagi oleh keluargaku, uang tak lagi berguna, mobil mewahku seperti gerobak saja, rumah megahku tak lebih dari gubuk sederhana. Kehidupanku hanya penuh hina. Papa di penjara, Mama tetap dalam lamunannya.
            Pagi kelabu dengan titik-titik hujan, aku duduk santai di ruang keluarga. Lesehan di lantai, aku takut duduk di kursi yang berharga 120 juta dihadapanku. Aku meragukan kehalalannya, kursi itu ditukar dengan ribuan tetes air mata orang lain. Papa sungguh tega. Aku teringat kembali bagaimana belaian Papa saat aku duduk manja disebelahnya.
“Pa… liburan semester kali ini Nayla pengen liburan. Boleh nggak?” tanyaku manja pada Papa yang sedang menonton TV
“Boleh dong… mau kemana?”
“Nayla pengen ke Korea”
“Papa temenin?”
“Iya dong, Papa sama Mama wajib ikut”
Lalu tiba-tiba Mama datang dengan sepiring kue coklat dan segelas susu untukku.
“Ada apa nih, kok bawa-bawa nama Mama?” tanya Mama
“Ini Ma, Nayla pengen ke Korea liburan kali ini dan kita wajib ikut katanya”sahut Papa
“Eh… nggak bisa gitu. Kalau Mama sih bisa, tapi Papa kan banyak kerjaan” kata Mama sambil meletakkan kue dan susu di meja
“Teh Papa mana Ma?”
“Iya Pa, bibik yang bawakan”
“Ayo dong Pa, ambil cuti. Nggak mungkin kan Nayla cuma berdua sama Mama” aku merujuk manja. Papa membelai kepalaku dan berkata,
“Iya Papa bisa. Tapi tidak boleh lebih dari sepekan”
“Siiip Bos”
“Papa ini terlalu manjain Nayla” protes Mama
“Biarkan saja Ma”
Aku tersenyum nakal ke arah Mama. Beliau hanya menggeleng-gelengkan kepala membalas senyumku. Lalu kemudian Bik Muna datang membawakan secangkir teh.
“Makasih bik” ucap Papa
Aku membuka-buka sebuah majalah. Papa tetap fokus pada tayangan berita dan Mama dengan setia memijat Papa.
“Pa…” panggilku lirih
“Apa sayang?” jawab Papa
“Nayla sudah seminggu nggak beli baju baru”
“Kenapa? Uangnya habis?”
“Banyak kok, tapi nggak sempet aja”
“Ya udah, nanti sehabis kita makan malam langsung keluar. Papa sama Mama akan nemenin kamu shopping”
“Beneran Pa?”
“Iya sayang”
Mama yang mendengarnya hanya bisa tersenyum pasrah. Begitulah Papa, akan menuruti semua keinginanku. Dan seperti itulah kehidupanku dulu. Ya… dulu. Tidak pernah kekurangan sesuatu apapun. Aku juga jarang menangis. Aku tidak tahu apa yang harus aku tangiskan. Keinginanku terpenuhi, keluargaku harmonis, sahabat-sahabatku begitu baik. Tapi itu DULU.
            Siang dibulan Oktober. Mama mengajakku mengunjungi Papa di penjara. Mama memasakkan Papa pasta kesukaannya. Aku hanya membawa satu termos teh. Papa, Mama dan aku akan ngetehbersama dalam buih. Bagaimanapun juga, Papa tetap Papaku. Setibanya di penjara, aku bertemu dengan wartawan. Kamera dan microphone mereka diarahkan pada Mama dan aku. Kami hanya terdiam membisu melalui mereka menuju ke arah masuk untuk menemui Papa. Mama dan aku sudah berada di ruang tunggu. Kemudian, Papa keluar. Mama menitikkan air mata. Aku juga tidak sanggup menahan buliran air mata. Aku menangis, berlari ke dalam pelukan Papa. Ini pertama kalinya aku bertemu dengan Papa pasca penangkapannya.
“Nay, kamu masih mau menganggap Papa sebagai Papamu?”
“Iya Pa, selalu sampai kapanpun”
Papa begitu terlihat lebih kurus. Aku tidak tega melihat keadaan Papa sekarang. Meski aku tersiksa atas kelakuan Papa, tapi hal itu tidak menjadikanku untuk membenci Papa. Yang dibutuhkan Papa saat ini adalah kasih sayang, sudah terlalu banyak orang yang mencacinya. Maafkan aku Pa, yang sempat membenci Papa.
“Ma, maafin Papa” ucap Papa seraya memeluk Mama
Mama hanya bisa terdiam dan menangis. Sesaat kemudian, tangis Papa, Mama, dan aku mulai mereda. Lalu Mama menyuapi Papa, aku menuangkan teh ke dalam 3 gelas yang aku bawa. Aku lihat, cinta Mama tidak pernah luntur. Saat Papa sehat atau sakit, saat Papa bahagia atau sedih, atau saat Papa kaya atau miskin, Mama selalu setia mendampingi.
“Bagaimana kuliahmu Nay?” tanya Papa
“Semuanya baik-baik saja Pa” ucapku berbohong
“Syukurlah kalau begitu. Tidak ada yang memusuhi kamu kan?”
“Semuanya berjalan normal” aku kembali berdusta
“Papa tidak perlu memikirkan apapun. Semuanya baik-baik saja. Yang terpenting Papa jaga diri dan jaga kesehatan” nasehat Mama
“Maafkan Papa ya” kata Papa sambil menundukkan kepala
“Nayla sudah maafin Papa sebelum Papa melakukan kesalahan itu sendiri” jawabku tegas
Papa memegang tanganku erat. Pegangan yang kurindukan. Aku jadi teringat saat berlibur di Singapura. Papa dan aku mengelilingi Negara tetangga itu hanya berdua. Mama tak mau keluar dari kamar Hotel, lelah katanya. Aku dan Papa-pun beraksi. Narsis berdua, makan berdua, belanja berdua, dan main berdua. Sepanjang liburan istimewa itu, Papa memegang tanganku erat. Mungkin khawatir putri semata wayangnya hilang.
“Nayla ayo kita pulang” ajak Mama. Aku tersentak kaget, ternyata aku asyik dengan lamunanku. Papa yang penuh tawa dalam bayanganku, kini hanya suram yang menghiasi wajahnya.
“Nayla masih kangen sama Papa” jawabku manja
“Kan besok-besok bisa datang lagi”
Aku mengiyakan saja ajakan Mama untuk pulang. Aku tidak kuasa untuk melangkahkan kaki keluar dari sini, meninggalkan Papa sendiri. Aku kembali menoleh ke arah Papa. Berlari dalam pelukannya. Menangis di bahunya. Papa juga terisak.
“Maafin Nayla pa”
“Kenapa? Papa-lah yang harus minta maaf”
“Nayla sempat membenci Papa, karena Papa sudah merubah hidup Nayla”
“Maafin Papa sayang”
“Meski Papa bersalah, Papa tetap Papa Nayla. Papa tetap di hati Nayla”
“Papa menyesal atas kecerobohan Papa. Maaf”
“Tidak apa-apa. Ini salah Nayla juga, terlalu manja sama Papa. Nayla ikut andil dalam korupsi yang dilakukan Papa, hanya saja Nayla menggunakan tangan Papa”
“Kenapa kamu bicara seperti itu?”
“Kalau saja tiap liburan Nayla tidak ke luar negeri, tidak selalu shopping, tidak manja sama Papa. Pasti Papa tidak akan korupsi”
“Tidak sayang, uang yang Papa korupsi tetap utuh di rekening Papa. Tidak berkurang sepeserpun. Tidak ada uang haram yang kamu makan selama ini”
“Jangan korupsi lagi ya Pa”
“Tidak akan sayang”
Akupun melepaskan pelukan Papa. Mama mematung di ambang pintu, terisak. Aku coba pasrah atas semuanya. Bersabar atas semua kejadian yang menimpaku. Dengan rela, aku tinggalkan tempat tinggal Papa yang sementara. Selamat tinggal penjara.
            Gelap mulai menyinari rumahku, suara bising sedikit mulai reda. Orang-orang berlomba menarik selimut, menghindar dari dinginnya malam. Kutatap langit-langit kamar yang berwarna ungu. Jadi teringat Papa, saat aku dan beliau berebut memilih warna cat.
“Nay, cat kamarmu diganti warna pink saja”
“Nggak Pa, Nayla nggak suka”
“Kamu kan cewek sayang…”
“Nayla nggak mau”
“Warna pink itu cantik, cocok sama anak Papa”
“Ih… Papa, rayuannya gombal”
“Terus kamu mau warna ungu?”
“Iya Papaku sayang”
“Ya sudah, Papa ikut apa kata kamu saja”
“Makasih banyak Pa” ucapku seraya memeluknya
Suara pintu kamar yang diketuk menyadarkanku dari lamunan tentang Papa. Kemudian suara Mama terdengar.
“Nay, buka pintunya”
“Iya Ma, sebentar”
Dengan tergesa-gesa aku membuka pintu
“Ada apa Ma?”
“Boleh Mama masuk?”
“Tentu”
Mamapun menuju ke kursi dekat ranjangku lalu mendudukinya.
“Mama ingin minta maaf karena akhir-akhir ini kurang perhatian sama kamu Nay”
“Iya Ma, nggak apa-apa. Nayla ngerti kok”
“Mama tahu kalau selama sembilan belas tahun kamu tak lepas sedetikpun dari perhatian Papa dan Mama”
“Nayla sudah menerima semuanya Ma, hidup memang seperti ini. Kadang di atas kadang di bawah. Kadang tertawa kadang menangis”
“Mama bahagia saat kamu berkata bahwa Papamu tetap Papamu yang ada di hatimu selalu”
“Nayla nggak bisa membenci Papa selamanya. Nayla sadar, semuanya Papa lakukan demi kita Ma, demi kebahagian kita. Namun, Papa memilih jalan yang salah”
“Mama bangga sama kamu Nay”
“Nayla juga bangga sama Mama yang setia menemani Papa”
Mama memandangku lama dan tertunduk menangis. Aku dekati Mama, lalu menangis di pangkuannya. Mama membelai rambutku lembut.
“Ma…” panggilku lirih
“Iya sayang”
“Mama jangan sedih lagi ya”
“Mama hanya merindukan Papamu”
“Kita harus bersyukur Ma, karena Papa cepat ketahuan dan tertangkap”
“Kenapa kamu berkata demikian?”
“Semakin lama akan semakin memperburuk keadaan Ma. Nayla dan Mama pasti akan merasakan uang haram hasil kerja Papa”
“Kamu benar sayang”
“Mama jangan menangis lagi ya”
“Iya sayang, demi kamu dan Papamu”
            Pagi yang cerah di hari rabu, aku bersiap untuk berangkat kuliah. Hari ini ada kelas pagi. Ku turuni tangga rumahku yang seperti istana dengan langkah yang terburu-buru. Aku terhenti ketika melihat Mama sedang menyiapkan makanan di meja makan.
“Mama masak? Mau menjenguk Papa” tanyaku tiba-tiba
“Anak Mama sudah siap rupanya. Ini semua Mama masak buat kamu”
Aku tersenyum bahagia, Mamaku kembali. Hari ini libur makan di kantin. Pagi ini aku makan ditemani Mama.
“Enak masakan Mama?”
“Sip Ma”
“O ya, nanti pulang jam berapa?”
“Mungkin siang Nayla sudah ada di rumah. Kenapa Ma?”
“Oma-mu nanti sore mau ke rumah”
“Oma?”
“Iya, beliau ingin memastikan kita baik-baik saja”
“O… begitu”
Setelah sarapan selesai, aku masih belum berangkat ke kampus. Tetap duduk di tempat makan. Mama menunda membereskan semua piring kotor.
“Ada apa sayang?”
“Nayla boleh menanyakan sesuatu sama Mama”
“Tentu”
“Sebenarnya, alasan Papa korupsi itu apa Ma? Padahal penghasilan Papa cukup untuk kita hidup makmur selama ini”
“Papamu hanya ingin membahagiakan kita”
“Tanpa korupsipun Papa bisa melakukannya”
“Tapi Papamu tidak beranggapan demikian, semuanya ingin ditabung olehnya. Mungkin Papamu takut, kebahagianmu dan Mama akan terhenti suatu saat nanti”
“Cadangan uang?”
“Mungkin”
“Tabungan kita kan sudah banyak Ma”
“Nayla, seseorang tidak pernah bisa selalu hidup sempurna dan baik. Kesalahan memang mewarnai kehidupan. Mungkin Papamu tergiur dan dengan sengaja melakukannya”
“Iya Ma, Nayla mengerti sekarang”
“Sudahlah, kamu berangkat saja. Toh kita sudah memaafkan kesalahan Papamu kan?”
“Iya Ma. Makasih. Nayla berangkat dulu”
“Hati-hati sayang”
Kucium punggung tangan Mama dan pergi meninggalkan rumah menggunakan mobil berwarna ungu, hadiah dari Papa saat ulang tahunku yang ke-17. Ku pacu mobilku menembus jalan. Kehidupan baruku dimulai, inilah hidupku jilid dua.

*Cerpen Jaman Dahulu Kala

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes