Home Unlabelled Cinta Dalam Intai-an Maut
Cinta Dalam Intai-an Maut
Atiya Fauzan June 28, 2013 0
CERBUNG:***
“Kita berdua sekarat, kita tak tahu pasti kapan ajal itu datang, tapi semua orang memperkirakan tak lama lagi, jangan pernah menyesal, ini adalah nikmat yang Tuhan berikan spesial hanya untuk kita berdua, meski maut mengintai nyawa kita, tetaplah bersyukur atas milyaran detik yang kita peroleh sebelumnya,”
Kalimat panjang tanpa tanda titik, karena itulah yang aku harap, hidup penuh dengan tanda koma, tapi rasanya sangat tak mungkin. Hidup di dunia memiliki akhir dan pada saatnya nanti aku harus siap mengenakan gaun kematian, ‘kafan’, yang sudah aku persiapkan sebelumnya. Tahukah kalian bagaimana rasanya memesan batu nisan sendiri? Bagaimana rasanya membeli kain kafan sendiri yang akan kita kenakan nanti? Bagaimana rasanya mengucap kalimat perpisahan dengan kehidupan? Bagaimana rasanya menyambut maut setiap waktu? Kalian tahu bagaimana rasanya? Tidak tahu? Mungkin kalian merasa masih jauh dengan maut, mungkin kalian merasa hidup ini masih panjang. Aku pernah demikian, tapi dulu. Sebelum orang-orang menyebutku ‘sekarat’ dan sebelum dokter memvonisku ‘sekarat’ juga.
Kesekaratan yang melumpuhkan semangat hidupku, mengantarkan hatiku untuk bertaut dengan hati yang dimiliki oleh seorang pria yang tak kalah sekarat dariku. Kesekaratan ini telah menuntunku untuk mengenalnya. Pertemuan dalam balutan seragam pasien, menjadi awal dari episode cintaku. Dia tahu, aku sekarat. Aku juga tahu, dia sekarat. Kini, kami hanya mampu mengukir cinta dalam pesan. Kami hanya bisa meluapkan cinta dalam tulisan. Berbeda dengan 5 bulan lalu, mata masih bertaut, suara masih menyahut, dan raga masih dalam kedekatan yang terpaut.
Aku menapaki masa bersama nafas yang tersisa. Aku tak pernah tahu, seperti apa jalan cintaku di dunia. Aku juga tak tahu, berapa detik lagi jiwaku bertahan dalam raga. Yang aku tahu, aku masih mencintainya dan aku masih manusia. Aku penasaran, aku atau dia yang menjadi mayat terlebih dahulu. Siapa yang akan menabur bunga pada akhirnya. Oh... Tuhan, rahasiamu begitu indah, skenariomu begitu mempesona. Sebagai hambamu, aku hanya bisa menanti episode-episode kehidupan selanjutnya.
Luapan hati yang terselubung dalam sore, aku tuangkan dengan tetesan tinta dalam pena. Sebuah nama terukir jelas oleh jemariku, Hizbil. Pria tanpa definisi, yang menjadi tersangka utama atas syair-syair lepasku. Ku lukis kalimat panjang untuknya, sebuah pesan terakhirkah? Entahlah, semoga bukan. Itulah yang aku harapkan setiap kali menulis surat untuknya.
“Tidakkah kita merasa perjalanan waktu terlalu singkat, mungkinkah ini tahun terakhir bagi kita, bukan, mungkin ini bulan terakhir atau bahkan hari terakhir, entahlah, dari abang aku belajar rasa syukur dan semangat, dan detik ini aku ingin berkata:, ‘Tuhan, aku sungguh siap bertemu denganmu, aku bersyukur atas kesempatan hidup ini, izinkan aku bersanding dengan pria sekarat yang membaca tulisanku ini di SurgaMu’, sudah cukup kuatkah diriku kini bang?, aku berharap, aku masih bisa menerima dan membaca sambungan kalimat tanpa tanda titik ini,”
***
Aku tersudut disebuah ruang, terpojok oleh waktu, dan dicampakkan oleh masa. Tapi aku mencoba untuk tak goyah atas keyakinan yang kugenggam dan aku mencoba untuk melunasi janji yang lisanku utarakan. Biarkan hati tercabik dan airmata bergulir. Cinta ini begitu aku agungkan, cinta ini akan tetap menjadi rasa tak berbumbu yang tertancap kuat dalam qalbu. Aku coba merengkuh asa yang mulai pudar. Jika ini takdirku, maka tak ada yang bisa menghalangi. Dengan raga yang lemah, aku duduk sekarat di kursi yang menggelindingku untuk menelusuri koridor rumah sakit. Ketika aku merasa begitu lemah dan sakit, aku berjanji pada abang untuk tersenyum dihadapannya, ketika aku meyakini bahwa ini adalah senyum terakhir, aku berjanji pada abang untuk menghadiahkan senyum terakhir ini untuknya.
Sudah lebih dari 960 jam aku tak melihat rautnya. Rindukah? Teramat sangat, sekurus dan sepucat apa dia kini? Samakah denganku? Atau lebih baik? Entahlah. Dan dalam ruang yang tak pernah kami impikan, aku menyunggingkan sebuah senyum, dia membalasnya. Aku tak bisa berkata-kata, dan dia pun hanya diam. Namun, orang lain akan mengerti bahwa ada cinta, rindu, khawatir, cemas, takut, dan semangat yang memenuhi jiwa dan raga kami berdua. Abang tak menangis, meski ia tahu ini adalah puncak dari kesekaratanku. Aku juga tak mau menangis. Menangis hanya akan menambah kesedihan. Aku dan abang terlalu akrab dengan kesedihan dan keperihan. Hingga, bagi kami menangis bukanlah hal yang menarik lagi.
Aku kembali. Ke kamar pesakitan yang menjadi rumah keduaku beberapa bulan terakhir. Dalam kelemahan yang sangat, aku mencoba terlelap dalam kekhawatiran. Akankah mata ini terkatup tanpa bisa terbuka kembali? Akankah ini akan menjadi tidur panjangku?
***
Bersambung... >_<
About Author
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment